4.1 Masa Awal Kemerdekaan
Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan
untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara
maju. Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia
merasakan berbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun
kebudayaan, termasuk pendidikan. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya
beberapa persen saja yang dapat menikmati sekolah, sehingga sisanya 90%
penduduk Indonesia masih buta huruf.
Tujuan pendidikan pada waktu itu
dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati. Dengan kata lain, tujuan
pendidikan pada masa itu ditekankan pada penanaman semangat patriotisme, karena
pada saat itu negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan
sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih mencoba untuk menjajah kembali
negara Indonesia.
Kurikulum pasca kemerdekaan
kemerdekaan saat itu diberi nama Leer
Plan dalam bahasa Belanda artinya Rencana Pelajaran, lebih terkenal
ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih
dipengaruhi sitem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga hanya
meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rencana Pelajaran 1947 dikatakan
sebagai pengganti sitem pendidikan kolonial Belanda. Karena saat itu bangsa
Indonesia masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan dan bertujuan untuk
pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi.
Yang diutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Tata susunan persekolahan sesudah
Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat
pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana
pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa
pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku
hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah
dirintis sejak jaman Jepang.
Adapun susunan persekolahan dan
kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai berikut:
4.1.1
Pendidikan Rendah
Pendidikan
yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat
(SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain
meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat
menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat
kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946
NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah
pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran
seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17
jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR
pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
Ada
dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah
menengah Tinggi (SMT).
·
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang sama
pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka
diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB,
IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti.
Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi.
Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
·
Sekolah Menengah Tinggi (SMT):
Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang
berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta,
Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah
daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan
tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana
pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus
menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana
pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2)
bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang
kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah
selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku ujian
negara tersebut.
4.1.2
Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950
dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
·
Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan
4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima
adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran
yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan
keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima
tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya
sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat
kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua
yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
·
Sekolah Guru C (SGC) berhubung
kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru
yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan
sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena
dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan
SGB.
·
Sekolah guru A (SGA) karena adanya
anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk
taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun
sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan
kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata
pelajaran yang diberikan di SGb hanya penyelenggaraannya lebih luas dan
mendalam.
4.1.3
Pedidikan Kejuruan
Yang
dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan
kewanitaan:
·
Pendidikan ekonomi: pada awal
kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang yang lama,
pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan
penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah
dagang.
·
Pendidikan Kewanitaan: sesudah
kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun
1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun
setelah SMP atau SKP.
4.1.4
Pendidikan Teknik
Seperti
sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping
pelajarnya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut
kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo
misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali
apaadanya. Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
1. Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya
satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam
tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las
dan batu.
2. Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga
tukang yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan
ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik,
perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur
tanah dan cor.
3. Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga
pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan
meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan
radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
4. Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga
ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun
setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan gedung,
bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan
listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
5. Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi
keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik
guru yang menghasilkan:
o
Ijazah A Teknik (KGSTP) guna
mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin,
listrik dan mencetak.
o
Ijazah B I Teknik (KGST) untuk
mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan
sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
o
Ijazah B II Teknik guna mengajar
dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung,
mesin dan listrik.
4.1.5
Pendidikan Tinggi
Dalam
periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin
terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang
pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka
perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan.
Lembaga pendidikan yang ada adalah
Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah
kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi
sesudah proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa
dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu
kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di
Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi
kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember
1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi
agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh
belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan
tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan
Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.
4.2 Masa Orde Lama
Pada masa revolusi, pendidikan
nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Saat itu sangat terasa sangat
terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana
yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan
No. 4/1950 junto no. Kita dapat membangun system pendidikan yang tidak kalah
mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya
walaupun serba terbatas.
Dari keterbatasan itu, dapat memupuk
pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti
rongrongan terhadap NKRI. Sayangnya pada era ini, pendidikan kemudian dimasuki
oleh politik praktis untuk mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu,
dimulai pendidikan Indoktrinasi, yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaan orde lama. Pada orde lama sudah mulai diadakan
ujian-ujian negara yang terpusat dengan system kolonial yang serba ketat,
tetapi jujur dan mempertahankan kualitas.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi
pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi
rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi
pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep
sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak
semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Tujuan
dan upaya pendidikan sudah mulai ditujukan kepada pembentukan manusia yang
diinginkan oleh konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa
yang memiliki kepeloporan dalam membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Untuk
itu perubahan kurikulum di lakukan. Mata pelajaran Civics menjadi mata
pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Dalam pelajaran itu dimasukkan
ideologi yang sedang dikembangkan presiden Soekarno.
Pada tahun 1952 kurikulum di
Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada
tahun 1952 ini diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah
mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan
sekaligus menjadi ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran
harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana
Pelajaran Terurai1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru
mengajar satu mata pelajaran,” kataDjauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar
Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga dibentuk kelas Masyarakat.
Yaitu sekolah khusus bagi lulusan SekolahRendah 6 tahun
yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti
pertanian, pertukangan, dan perikanan tujuannya agar anak tak mampu sekolah
kejenjang SMP, bisa langsung bekerja.
4.2.1
Perubahan Sekolah-sekolah
Setelah RIS kembali kenegara
kesatuan RI, jawatanm inspeksi pengajaran kementerian PP dan K di Yogyakarta
pada tanggal 25 Agustur 1950 mengeluarkan keputusan mengenai perubahan
sekoah-sekolah yang dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950.
Sekolah-sekolah dibagi-bagi atas enam kelompok: model-model sekoah yang berasal
dari masa sebelum kembali kenegara keatuan di bekas-bekas daerah-daerah ferdeal
atau pendudukan Belanda yang pada dasarnya menurut model kolonial diubah dan
disesuaikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional.
4.3 Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat
dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat
signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun,
yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi
kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa
ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan
kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak
menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman”
sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi
seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga
diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quopenguasa. Pendidikan militeralistik
diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru
negeri.
Pada
pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena
unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde
baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak
dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan
faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan.
Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1.
Produk-produk pendidikan diarahkan
untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia
yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2.
Lahirnya kaum terdidik yang tumpul
akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik
3.
Hilangnya kebebasan berpendapat.
Pada masa
ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa,
terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk
menjadi manusia “pekerja” yang kelak akan berperan sebagai alat penguasa
dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk
mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas
mereka demi hasrat kepentingan penguasa.
Pada masa ini, ada banyak pergantian kurikulu. Yang pertama,
kurikulum 1968. Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan
1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk
tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan
pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat
teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa
ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal
teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek
afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis,
kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi
intelektualnya saja.
Kurikulum
1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar
MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran
dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang
dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional
umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat
pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran
guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian
tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
Kurikulum
1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih
penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah
tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan
sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diberi kesempatan
untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kurikulum
1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya,
terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa
mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai
muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan,
dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya
beban belajar yang harus mereka hadapi.
4.4
Masa Reformasi
Era
reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan
kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner.
Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan
pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada
masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%)
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pendidikan
di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No
22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang
didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis
Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang
berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki
tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan
dipahami sebagai:
“Usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.”
Pada
masa reformasi ini terjadi perubahan. Yang pertama yaitu Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan
sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk
memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam
memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam
perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada
hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi
juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak
diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif
dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama
KBK, yaitu:
1) Menekankan pencapaian
kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2) Kurikulum dapat
diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan
tinggi).
3) Berpusat pada siswa.
4) Orientasi pada proses
dan hasil.
5) Pendekatan dan metode
yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6) Guru bukan
satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7) Buku pelajaran bukan
satu-satunya sumber belajar.
8) Belajar sepanjang
hayat;
9)
Belajar mengetahui (learning how to know),
10) Belajar melakukan (learning
how to do),
11) Belajar menjadi diri
sendiri (learning how to be),
12) Belajar hidup dalam
keberagaman (learning how to live together).
Pengembangan
KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
1) Pendekatan ini
bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada
hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan
potensinya masing-masing.
2) Kurikulum berbasis
kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain.
Penguasaan ilmu pengetahuan, keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek
kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi
tertentu.
3) Ada bidang-bidang
studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan
pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.
Yang kedua adalah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Secara
umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak
pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem
pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi
dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan
dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan
daerahnya.
Jadi pada
kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan
membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan
lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar
pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh
pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah
ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam
kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu
unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih
ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan
terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan
dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu
memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat
sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan,
mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang
berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah,
sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang
telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
Yang
terakhir adalah Kurikulum 2013. Kurikulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan
pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah menuntut
kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan
sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi
dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk
siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan,
kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir
kritis. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan
siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran.
Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti
yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi
perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum
2013.
·
Kompetensi guru dalam pemahaman
substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran, yang
nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi
guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
·
Kompetensi akademik di mana guru
harus menguasai metode penyampaian
ilmu pengetahuan kepada siswa.
·
Kompetensi sosial yang harus
dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada
siswa dan teman sejawat lainnya.
·
Kompetensi manajerial atau
kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang
akan digugu dan ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran.